CILACAP – Ribuan masyarakat pesisir dan nelayan Cilacap kembali menggelar tradisi tahunan Sedekah Laut. Sedekah Laut telah menjadi identitas kuat masyarakat nelayan Cilacap sebagai ungkapan syukur atas limpahan rezeki dari laut sekaligus doa untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup. Tradisi ini dikenal dengan berbagai nama di tiap daerah, namun masyarakat Cilacap menyebutnya sebagai Larung Saji atau Sedekah Laut.
Sedekah laut ini dilaksanakan pada Jumat, 27 Juni 2025, bertepatan dengan 1 Sura dalam kalender Jawa. Tradisi ini menjadi bagian penting dari Festival Nelayan 2025, yang dimulai dari Pendopo Wijayakusuma Cakti hingga berakhir di Pantai Teluk Penyu. Sedekah Laut menjadi momen sakral sekaligus meriah karena diwarnai dengan rangkaian acara budaya seperti kirab, pertunjukan seni, pasar rakyat, dan puncaknya berupa pelarungan sesaji atau jolen ke Laut Selatan.
Perayaan tahun ini berlangsung selama dua hari, diawali dengan kegiatan ziarah dan tasyakuran, lalu dilanjutkan dengan puncak acara berupa serah terima dan pelarungan jolen. Tradisi ini tidak hanya mengandung nilai-nilai religius dan budaya, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang memperkuat identitas pesisir Cilacap. Melalui Sedekah Laut, masyarakat menyuarakan hubungan baik antara manusia dan alam.
Prosesi adat Sedekah Laut di Kabupaten Cilacap tahun ini berlangsung khidmat selama dua hari, dimulai pada Kamis Wage (26 Juni) dan berpuncak pada Jumat Kliwon (27 Juni). Rangkaian acara dimulai sejak pagi hari dengan ziarah ke makam Karangbandung di Pulau Nusakambangan, yang dipercaya sebagai tempat keramat dan bagian dari sejarah leluhur para nelayan. Ziarah ini menjadi simbol penghormatan kepada arwah pendahulu sekaligus bentuk doa agar laut selalu memberikan keberkahan dan keselamatan.
Pada malam harinya, digelar tasyakuran di Pendopo Wijayakusuma Cakti. Acara ini dihadiri oleh nelayan, tokoh masyarakat, Forkopimda, dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Cilacap. Suasana syukur terasa begitu kental dalam kegiatan ini sebagai bentuk harapan bersama akan rezeki yang terus mengalir dari laut dan keselamatan selama melaut. Keesokan harinya, tepat di Jumat Kliwon, dilakukan upacara serah terima jolen dari Pj. Bupati Cilacap Yunita Dyah Suminar kepada perwakilan nelayan. Dengan mengenakan busana tradisional yang anggun dan penuh wibawa, PJ Bupati secara simbolik memberi izin dan memerintahkan pelarungan jolen ke laut selatan.
Prosesi dilanjutkan dengan kirab jolen yang berlangsung meriah. Rombongan dimulai dari Pendopo Wijayakusuma Cakti melewati Alun-Alun Kota Cilacap, Jalan Ahmad Yani, Jalan Letjend Sutoyo, Brug Menceng, Jalan Laut, dan berakhir di Pantai Teluk Penyu. Warga memadati sepanjang rute kirab, memberikan sambutan hangat dan antusias. Sembilan jolen diarak menggunakan delman, masing-masing mewakili kelompok nelayan seperti Lengkong, Kemiren, Tegalkatilayu, PPC, Pandanarang, Sidakaya, Sentolokawat, Donan, dan satu jolen tunggul dari HNSI Cilacap. Setibanya di pantai, dilakukan upacara penyerahan dari Tumenggung kepada nelayan untuk selanjutnya dilarung ke laut menggunakan perahu tradisional, diiringi doa bersama.

Setiap jolen yang dilarung memiliki isi yang sangat simbolis dan sarat makna. Menurut Wakil Ketua I DPC HNSI Cilacap, Parjo Hadi Pranoto, “Jolen-jolen ini berisi 108 macam benda, seperti aneka makanan, minuman, buah-buahan, dupa, mainan anak, alat pertanian, hingga kepala kerbau atau sapi.” Jumlah dan ragam isi jolen melambangkan kelimpahan rezeki, perlindungan, serta harapan atas kesejahteraan yang berkelanjutan. Kehadiran dupa dan bunga menyan
mencerminkan unsur spiritual dan komunikasi dengan alam gaib penjaga laut. Sementara kepala hewan menjadi lambang pengorbanan, mengakar pada kepercayaan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Wakil Ketua I DPC HNSI Cilacap, Parjo Hadi Pranoto, menegaskan bahwa tradisi ini merupakan bagian penting dari identitas masyarakat nelayan. “Ini intinya wujud rasa syukur kita nelayan kepada Tuhan YME, bahwa nelayan telah diberi penghasilan selama ini, kemudian keselamatan di laut, cari ikan selamat pulang ketemu keluarga. Biasanya setelah sedekah laut ini, hasil nelayan bertambah dan ini kepercayaan kita,” ujarnya.
Dukungan terhadap pelestarian tradisi ini juga datang dari salah seorang tokoh adat yaitu Mbah Pano, yang melihat Sedekah Laut sebagai lebih dari sekadar pesta rakyat. “Sedekah Laut bukan hanya pesta rakyat, tapi juga destinasi budaya unggulan Cilacap yang mampu menarik wisatawan sekaligus menguatkan identitas masyarakat pesisir,” tuturnya.
Sementara itu di tengah keramaian, Sulastri (52), warga setempat yang rutin mengikuti acara setiap tahun bersama keluarganya, mengungkapkan harapannya. “Setiap tahun saya ikut. Ini bukan sekadar budaya, tapi bentuk syukur kami pada laut yang sudah memberi hidup. Kita berdoa agar dijauhkan dari bencana, hasil tangkapan banyak, dan semuanya selamat saat melaut,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Tradisi Sedekah Laut diyakini telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Tepatnya sejak tahun 1875, dimulai dari perintah Bupati Cilacap ke III, Tumenggung Tjakrawerdaya III, yang memerintahkan sesepuh nelayan untuk melarung sesaji ke laut selatan bersama nelayan lainnya pada bulan Sura, tepatnya di hari Jumat Kliwon. Konon, ritual ini berasal dari kepercayaan masyarakat Jawa terhadap “penguasa laut selatan” yang dihormati dengan sesaji sebagai bentuk permohonan keselamatan dan kelancaran rezeki. Seiring waktu, tradisi ini tidak hanya bertahan tetapi berkembang menjadi simbol budaya yang menyatukan nilai spiritual, sosial, dan ekonomi masyarakat pesisir.
Secara sosial budaya, Sedekah Laut berperan besar dalam mempererat silaturahmi dan menjaga nilai-nilai gotong royong di tengah masyarakat. Prosesi yang melibatkan berbagai elemen warga dari lintas usia dan profesi ini menjadi ruang berkumpul yang sarat makna kebersamaan.
Dari sisi lingkungan, meski tidak disampaikan secara eksplisit, tersirat pesan untuk menghormati dan menjaga laut sebagai sumber kehidupan. Melalui sedekah laut, masyarakat diajak untuk tidak semata mengambil hasil laut, tapi juga merawatnya agar tetap lestari.
Dampak ekonomi pun tidak bisa diabaikan. Perhelatan ini menjadi ajang hidupnya kegiatan ekonomi lokal. Pelaku UMKM, pedagang makanan, pengrajin, serta penyedia jasa wisata menikmati lonjakan pengunjung selama rangkaian acara. Hal ini tentu berdampak positif bagi perputaran ekonomi warga sekitar.
- Photographer : Gilang Putra
- Writer : Fikri Ilman & Brusli Setiawan